Senin, 22 Oktober 2007

Seputar UU Hak Informasi Publik

Oleh: Syafuan Rozi Soebhan (Pendiri Lembaga Kompetensi Indonesia)


Masyarakat Indonesia berpotensi untuk dirugikan oleh pemegang informasi publik baik swasta maupun negara, karena ketiadaan atau ketidakjelasan informasi yang diberikan. Padahal, hak masyarakat mendapatkan informasi yang berhubungan dengan kepentingan publik tidak boleh dihambat atau diabaikan begitu saja karena mereka pemagang mandat sah (stakeholder) negeri ini.

UU ini perlu mengatur informasi mana yang bebas untuk dapat diakses oleh masyarakat serta informasi mana yang dapat dikecualikan secara ketat. Informasi yang bila dibuka bisa menghambat proses penegakan hukum, bisa mengganggu hak atas kekayaan intelektual, perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat, dapat merugikan strategi pertahanan dan keamanan nasional, bisa mengancam keselamatan perorangan boleh saja tidak dibuka kepada publik. Untuk itu perlu pembahasan RUU Rahasia Negara, sampai kapan suatu hal menjadi rahasia dan kapan wajib dibuka untuk publik. Dengan demikian, ada batasan yang tegas tentang rahasia negara dan informasi publik.Tetapi, informasi publik semestinya terbuka.

Beberapa kasus yang merugikan masyarakat terjadi akibat tidak adanya jaminan ketersediaan dan konsistensi atas informasi publik. Misalnya, kasus kenaikan tarif dasar listrik yang tertutup sehingga kenaikan yang sebenarnya dengan kenaikan yang diumumkan berbeda. Ini jelas merugikan dan memperdayakan masyarakat. Ketidakpastian biaya juga dialami oleh anggota masyarakat yang mengurus SIM/STNK/BPKB, mengurus IMB, Akte Tanah, Pasport, skema kompensasi akibat kenaikan bahan bakar minyak (BBM), kerahasiaan bank yang melindungi kejahatan hasil korupsi dan pencucian uang ‘panas’(money loundring).

Masyarakat berhak tahu rancangan dan ketetapan APBN, APBD beserta alokasi dan pihak yang mengelolanya secara rinci lewat pelaporan di salah satu situs resmi di internet yang bisa diakses publik 24 jam. Begitu juga kriteria dan tolok ukur apa yang dipakai untuk menerima atau menolak suatu Laporan Pertanggung Jawaban seorang kepala daerah/kepala pemerintahan.

Penutup

RUU KMI perlu mengatur mekanisme yang jelas bagi masyarakat untuk mengakses informasi publik secara cepat, tepat, adil, disamping mampu menekan ke arah perbaikan keadaan buruknya sistem pengelolaan dan pelayanan informasi di badan-badan publik. Perlu diatur agar ada pos alokasi dana khusus dari APBN untuk pembangunan situs-situs internet lembaga-lembaga pelayanan publik, Lembaga Penelitan dan Universitas/Istitut. Selanjutnya ada keharusan semua hasil seminar, workshop, simposium, yang menyajikan paper dan kertas kerja atau semacamnya wajib diakses kedalam situs bersangkutan agar bisa diakses untuk dimanfaatkan oleh publik. Beberapa yang disarankan untuk dikomunikasikan ke publik misalnya rencana untuk keluar dari krisis ekonomi: membangun ekonomi dengan basis keluarga, pendidikan kewirausahaan (enterprunership) dan etika usaha, menjadikan keluarga sebagai produsen dan konsumen di lingkungannya dengan menghidupkan festival sepanjang tahun dengan berbagai tema; rencana memisahkan ibukota negara sebagai pusat politik dan pusat ekonomi di Indonesia secara priodik; memberlakukan pajak progresif untuk pendanaan/asuransi yang mendukung pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis; membangun nasionalisme baru: aku adalah warga dunia, dan lain-lain.

Untuk menciptakan pemerintahan yang terbuka, perlu diatur beberapa aspek yaitu (1) hak untuk melihat informasi, (2) hak untuk menghadiri pertemuan publik, (3) hak untuk mengetahui, (4) hak untuk mendapatkan salinan informasi, (5) hak untuk diberitahu atau diinformasikan mengenai sesuatu hal dan (6) hak untuk menyebarluaskan informasi.[1] Selain itu diperlukan juga gerakan nasional untuk melakukan penerjemahan karya ilmu pengetahuan berbagai bangsa ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah, guna mempercepat kebangkitan teknologi dan penanggulangan krisis di Indonesia.

Agar dapat memberikan jaminan hukum untuk kebebasan memperoleh informasi akan bagus bila diatur Sanksi Pidana penjara serta denda bagi setiap orang yang dengan sengaja atau karena kealpaannya tidak memenuhi panggilan, menghalang-halangi pemeriksaan, memberikan keterangan palsu, menghancurkan informasi sehingga tidak dapat dipakai lagi, membuat informasi yang tidak benar sehingga menyesatkan, disamping itu juga perlu diberikan sanksi kepada pejabat publik yang tidak mengikuti kewajibannya untuk mendokumentasikan informasi sesuai dengan kewajibannya, tidak menginformasikan tentang potensi bencana yang akan terjadi atau keharusan bertindak menurut langkah-langkah tertentu pada saat-saat yang mendesak. Semoga dengan adanya UU Transparansi dan Hak Masyarakat Memperoleh Informasi Publik atau apapun namanya nanti harapan Cicero agar “kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi” bisa dirasakan oleh semua stakeholder di Indonesia dan masyarakat dunia umumnya. (SR)



[1] Lihat juga Draft RUU Kebebasan Masyarakat Memperoleh Informasi, Badan Informasi dan Komunikasi Nasional, 2002.

Otonomi Daerah dan Contoh Kasus NTB


Oleh: Syafuan Rozi Soebhan (P2P LIPI Jkt)

Dalam era otonomi daerah di Indonesia, ada baiknya kita melihat kasus lokal yang berkaitan dengan informasi publik dan transparansi. Berdasarkan temuan di lapangan, sebagai pertimbangan, RUU KMI ada baiknya, menurut narasumber, mengatur bahwa informasi tentang Ramperda (Rancangan Peraturan Daerah), RAPBD, berbagai inisiatif DPRD, atau Standar Penilaian Laporan Pertanggungjawaban Gubernur agar dibuatkan atau dimasukan kedalam home page atau website E-Dewan NTB dan E-Government Pemda NTB, agar bisa membantu masyarakat untuk berkomunikasi dan kemudian dampaknya mempercayai DPRD dan Pemerintah Daerah-nya. Sosialisasi dan komunikasi politik lewat internet, atau media yang lain, ini sangat perlu dilakukan khususnya oleh pihak eksekutif dan legislatif di daerah untuk mengatasi disparitas dan kebelumjelasan informasi selama.

Seorang aktifis LSM “Somasi” di NTB, berinisial SM, misalnya mendefinisikan pengamatannya bahwa kepentingan publik di NTB, sebenarnya menyangkut hak memperoleh informasi yang selama ini cenderung absurd dan semu, sebagai berikut :

“..Semua maklum bahwa DPRD sebagai wakil rakyat diharapkan mampu mengartikulasi dan mengagregasikan apa yang sebenarnya menjadi kepentingan publik di NTB. Cuma untuk mendefinisikan kepentingan masyarakat itu memang cukup sulit, karena setiap orang di NTB punya kepentingan yang beragam. Kalau saya yang diminta mendefinisikannya, begini, kita di NTB sangat memerlukan transparansi, akuntabilitas dan ruang partisipasi ketika membangun NTB, dalam arti yang sebenarnya”.[1]

Ia lebih lanjut menjelaskannya secara rinci bahwa, Pertama, masyarakat NTB sekarang ini sangat membutuhkan transparansi untuk bisa berpartisipasi memajukan daerah. Selama ini tuntutan itu tidak pernah diakomodir DPRD dan Pemda NTB. Pemerintahan umumnya masih sangat tertutup dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi masih minim dibuka oleh eksekutif juga legislatif lokal. Kurangnya keterbukaan informasi itulah, antara lain, yang wajib ditegakkan oleh Pemda dan DPRD. Kalau eksekutif dan legislatif berprilaku baik, tidak ada kecurangan atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan, mengapa harus takut melakukan transparansi. Jika elit bertindak transparan maka kebaikannya dan mutu kerjanya pun akan diketahui oleh masyarakat, malah dukungan publik dan kepercayaan akan bertambah kepada para wakil rakyat dan pelaksana pemerintahan daerah. Pihak mana pula yang akan dirugikan bila ada kepastian? Tentu saja para spekulan yang memanfaatkan ‘daerah abu-abu’.

Kedua, masyarakat memerlukan DPRD yang bertanggungjawab kepada konstituennya. Kita tahu kalau eksekutif Pemda selama ini bertanggung jawab ke DPRD, kemudian kita juga bertanya, lalu DPRD kemudian bertanggung jawab kepada siapa? Sampai sekarang secara praktis tidak ada pertanggungjawaban dari DPRD kepada konstituennya.

Ketiga, masyarakat memerlukan agar pemerintah melibatkan mereka untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan dan pembangunan di NTB, jangan bertindak sepihak saja. Mereka yang di maksud masyarakat adalah para pemilih pada saat Pemilu, pihak RT & RW dan juga termasuk antara lain organisasi swadaya masyarakat (LSM).

Untuk pemulihan awal pasca kerusuhan di NTB, ia menyarankan perlu dibuat Perda Hak Masyarakat Untuk Memperoleh Informasi. Informasi itu sangat penting agar semua pihak bisa mengetahui penyelenggaraan pemerintahan ini dilakukan, berapa rencana alokasi APBD mau diperioritaskan untuk sektor apa. Itu sebenarnya hak masyarakat yang selama ini telah membayar pajak, tanpa bisa mengelak atau menolak. Sebagai aktifis LSM dan seorang yang belajar ilmu hukum, ia menginginkan adanya Perda Akuntabilitas Pemerintahan Daerah di NTB. Sekarang ini secara internal memang sudah ada Keppres No. 7 th.2001 dan pedoman Lembaga Administrasi Negara tentang akuntabilitas, tetapi ruang lingkupnya menjadi sebatas ‘niat baik’ di lingkungan internal Pemda, dampak penegakkan pelaksanaanya ke masyarakat menjadi sangat sulit diharapkan.[2]

Beberapa Hal Yang Perlu Regulasi

Masyarakat dirugikan oleh pemegang informasi publik, karena ketiadaan atau ketidakjelasan informasi yang diberikan. Padahal, hak masyarakat mendapatkan informasi yang berhubungan dengan kepentingan publik tidak boleh dihambat atau diabaikan begitu saja karena mereka pemagang mandat sah (stakeholder) negeri ini.

UU ini perlu mengatur informasi mana yang bebas untuk dapat diakses oleh masyarakat serta informasi mana yang dapat dikecualikan secara ketat. Informasi yang bila dibuka bisa menghambat proses penegakan hukum, bisa mengganggu hak atas kekayaan intelektual, perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat, dapat merugikan strategi pertahanan dan keamanan nasional, bisa mengancam keselamatan perorangan boleh saja tidak dibuka kepada publik. Untuk itu perlu pembahasan RUU Rahasia Negara, sampai kapan suatu hal menjadi rahasia dan kapan wajib dibuka untuk publik. Dengan demikian, ada batasan yang tegas tentang rahasia negara dan informasi publik.Tetapi, informasi publik semestinya terbuka.

Beberapa kasus yang merugikan masyarakat terjadi akibat tidak adanya jaminan ketersediaan dan konsistensi atas informasi publik. Misalnya, kasus kenaikan tarif dasar listrik yang tertutup sehingga kenaikan yang sebenarnya dengan kenaikan yang diumumkan berbeda. Ini jelas merugikan dan memperdayakan masyarakat. Ketidakpastian biaya juga dialami oleh anggota masyarakat yang mengurus SIM/STNK/BPKB, mengurus IMB, Akte Tanah, Pasport, skema kompensasi akibat kenaikan bahan bakar minyak (BBM), kerahasiaan bank yang melindungi kejahatan hasil korupsi dan pencucian uang ‘panas’(money loundring).

Masyarakat berhak tahu rancangan dan ketetapan APBN, APBD beserta alokasi dan pihak yang mengelolanya secara rinci lewat pelaporan di salah satu situs resmi di internet yang bisa diakses publik 24 jam. Begitu juga kriteria dan tolok ukur apa yang dipakai untuk menerima atau menolak suatu Laporan Pertanggung Jawaban seorang kepala daerah/kepala pemerintahan.

Penutup

RUU KMI perlu mengatur mekanisme yang jelas bagi masyarakat untuk mengakses informasi publik secara cepat, tepat, adil, disamping mampu menekan ke arah perbaikan keadaan buruknya sistem pengelolaan dan pelayanan informasi di badan-badan publik. Perlu diatur agar ada pos alokasi dana khusus dari APBN untuk pembangunan situs-situs internet lembaga-lembaga pelayanan publik, Lembaga Penelitan dan Universitas/Istitut. Selanjutnya ada keharusan semua hasil seminar, workshop, simposium, yang menyajikan paper dan kertas kerja atau semacamnya wajib diakses kedalam situs bersangkutan agar bisa diakses untuk dimanfaatkan oleh publik. Beberapa yang disarankan untuk dikomunikasikan ke publik misalnya rencana untuk keluar dari krisis ekonomi: membangun ekonomi dengan basis keluarga, pendidikan kewirausahaan (enterprunership) dan etika usaha, menjadikan keluarga sebagai produsen dan konsumen di lingkungannya dengan menghidupkan festival sepanjang tahun dengan berbagai tema; rencana memisahkan ibukota negara sebagai pusat politik dan pusat ekonomi di Indonesia secara priodik; memberlakukan pajak progresif untuk pendanaan/asuransi yang mendukung pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis; membangun nasionalisme baru: aku adalah warga dunia, dan lain-lain.

Untuk menciptakan pemerintahan yang terbuka, perlu diatur beberapa aspek yaitu (1) hak untuk melihat informasi, (2) hak untuk menghadiri pertemuan publik, (3) hak untuk mengetahui, (4) hak untuk mendapatkan salinan informasi, (5) hak untuk diberitahu atau diinformasikan mengenai sesuatu hal dan (6) hak untuk menyebarluaskan informasi.[3] Selain itu diperlukan juga gerakan nasional untuk melakukan penerjemahan karya ilmu pengetahuan berbagai bangsa ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah, guna mempercepat kebangkitan teknologi dan penanggulangan krisis di Indonesia.

Agar dapat memberikan jaminan hukum untuk kebebasan memperoleh informasi akan bagus bila diatur Sanksi Pidana penjara serta denda bagi setiap orang yang dengan sengaja atau karena kealpaannya tidak memenuhi panggilan, menghalang-halangi pemeriksaan, memberikan keterangan palsu, menghancurkan informasi sehingga tidak dapat dipakai lagi, membuat informasi yang tidak benar sehingga menyesatkan, disamping itu juga perlu diberikan sanksi kepada pejabat publik yang tidak mengikuti kewajibannya untuk mendokumentasikan informasi sesuai dengan kewajibannya, tidak menginformasikan tentang potensi bencana yang akan terjadi atau keharusan bertindak menurut langkah-langkah tertentu pada saat-saat yang mendesak. Semoga dengan adanya UU Transparansi dan Hak Masyarakat Memperoleh Informasi Publik atau apapun namanya nanti harapan Cicero agar “kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi” bisa dirasakan oleh semua stakeholder di Indonesia dan masyarakat dunia umumnya. (SR)



[1] Wawancara dilakukan oleh S. Rozi, bulan Juni 2002 di Mataram NTB.

[2]Penerapan jaringan internet berupa website/ hompage dan Email-DPRD NTB pada saat yang akan datang akan menjadi prasyarat yang penting dalam membangun komunikasi politik antara anggota DPRD NTB dan institusinya dengan para konstituennya. Hal ini akan merupakan suatu langkah good governance yang akan signifikan dalam rangka memberi ruang/media untuk peningkatan partisipasi konstituen (para pemilih). Bagi Dewan media ini akan menjadi sarana sosialisasi dan media penyampaian informasi politik yang bisa diakses kapan dan dimana saja. Hal itu akan membuktikan dan mendorong adanya proses transparansi dan akuntabilitas di institusi DPRD NTB.

[3] Lihat juga Draft RUU Kebebasan Masyarakat Memperoleh Informasi, Badan Informasi dan Komunikasi Nasional, 2002.

Partai, Akad Politik dan Pemilu Masa Depan

Oleh: Syafuan Rozi Soebhan

Banyak sekali kepentingan publik yang mestinya diurus orang parpol, tapi karena ketidakmampuan mereka terhadap persoalan yang dititipkan kepada mereka. Banyak hal yang menjadi masalah tersebut tetap belum bisa tertangani. Secara umum, elit parpol, baru sebatas vote-gather saja. Beberapa partai tidak dekat sebenarnya dengan persoalan masyarakat. Belum ada platform rinci dan jelas yang mereka janjikan kepada pemilih dan tidak memiliki mekanisme untuk bisa ditagih pada saat-saat tertentu setelah pemilu. Setelah mereka menang, mereka cenderung tidak berbuat banyak untuk kepentingan publik, selain melakukan kegiatan seriomonial dan bakti sosial.

Mekanisme politik yang membentuk orang partai berlaku seperti itu, karena mereka terpilih ditetapkan oleh partainya, bukan langsung oleh pemilih. Masyarakat tidak punya sanksi terhadap wakilnya, jika si wakil bertindak arogan dan tidak mau melakukan komunikasi politik. Belum ada mekanisme bagi pemilih untuk menuntut si wakil yang pernah menjanjikan sesuatu pada saat kampanye dulu. Pemilih tidak bisa menuntut terhadap apa yang telah dijanjikan, jika tidak terbukti. Kalau ada pemilihan anggota legislatif langsung oleh pemilih, bukan ditunjuk partai, itu akan lebih bagus. Kalau tidak ada kontrak sosial yang rinci antara calon wakil dan pemilih, masyarakat setelah pemilu akan apatis.

Jika kita membuat perbandingan politik, di USA tahun 1994, Partai Republik membuat program “One hundred days”. Pada saat itu, selama seratus hari apa yang dijanjikan oleh politisi Partai Republik harus dibuktikan dan dilaporkan kepada konstituennya. Jika tidak dibuktikan pemilih akan menarik dukungannya terhadap wakil dan partai tersebut.

Partai politik kita, di waktu mendatang perlu membuat laporan kemajuan kepada pemilihnya tentang apa yang telah dilakukan selama seratus hari dan seribu hari misalnya. Itu semacam kontrak sosial. Partai perlu membuat dan memberikan kaset atau booklet tentang apa yang telah dijanjikan Partai Republik terhadap pemilihnya setelah seratus hari.

Mekanisme seperti itu akan menuntut anggota parpol yang menjadi wakil pemilih. Orang Parpol itu akan lebih banyak bekerja dan bersentuhan dengan konstituennya, karena apabila tidak dilakukan, pemilih bisa menarik kepercayaan dan dukungannya saat itu dan pada pemilu berikutnya. Partai Politik masa lalu bisa digambarkan sebagai penggerak ‘demokrasi prosedural’, belum menghela ‘demokrasi substansial’. (catatan: ada yang berkeyakinan bahwa persyaratan suatu negara untuk disebut demokratis, jika memiliki Parpol, padahal ada ahli yang mengatakan syarat demokrasi bukan hanya hadirnya partai, tetapi lebih jauh lagi peran apa yang telah dimainkan secara substansial oleh intitusi politik tersebut.

Pemilu akan merubah siapa yang akan memimpin negara ini. Pemilu akan menghasilkan siapa yang akan mewakili masyarakat untuk membuatkan undang-undang dan membuat anggaran negara yang sesuai dengan kepentingan publik kita. Itu kan antara lain substansi perlunya kehadiran suatu partai politik dalam suatu negara.

“....Faktanya, beberapa partai belum menyiapkan substansi seperti itu, baru berebut posisi politik, fasilitas dan pundi-pundi. Kita harus akui belum semua partai sadar untuk menegakkan substansi demokrasi. Bahkan anggota legislatif, mereka itu wakil siapa. Mereka lebih menjadi wakil partai, karena selama ini ia ditunjuk dan ditempatkan oleh pimpinan partai. Pemilih bukan lagi siapa-siapa. Mereka yang telah ada di parlemen seringkali sangat mengecewakan pemilihnya, tidak mau berkonsultasi. (seperti mendorong mobil, para pendorong mobil ditinggalkan begitu saja ketika mesin mobil sudah menderu dan mobil melaju jauh melupakan para pendorong)...”.[1]

Oleh sebab itu, menurutnya, untuk waktu ke depan, perlu adanya mekanisme agar elit partai dan kader di tingkat bawah harus mau untuk langsung bersentuhan (melakukan komunikasi politik) dan ini lewat kontrak sosial dengan pemilihnya langsung pada masa kampanye. (misalnya apa yang akan dilakukan wakil rakyat jika ia terpilih setelah misalnya 100 hari, 1000 hari, 5.000 hari dan apa konsekuensinya jika tidak terpenuhi). Untuk alasan menegakkan substansi demokrasi, mereka harus berubah.

Ada kecenderungan gejala procedural democracy yaitu persyaratan verifikasi terhadap partai yang boleh ikut Pemilu, baru pada tahap memeriksa ada tidaknya kantor cabang dan ranting dan memeriksa dokumen dan bukti fisik berapa jumlah pengurus yang ada. Partai Golkar, PDIP dan PPP, tidak mengalami masalah sama sekali. Akibatnya banyak partai baru “terpaksa” menyewa staf, memobilisasi nama-nama, perlombaan pemasangan papan nama, memasang atribut, warna dan bendera di mana-mana menjelang verifikasi Parpol yang boleh ikut Pemilu.

Tim KPU dan Kementrian HAM, Hukum dan Perundang-undangan, cenderung tidak atau belum memeriksa persyaratan verifikasi apakah partai politik di daerah, sudah membuat persiapan kontrak sosial rinci berupa –akad politik- berisi perjanjian apa yang akan dilakukan atau tidak akan dilakukan setelah Pemilu, kapan dan bagaimana cara yang akan ditempuh-, siapa yang bisa dihubungi pemilih jika ingin menyampaikan aspirasinya, sehingga substansial demokrasi perwakilan bisa ditegakkan. Mereka baru memenuhi kriteria prosedural formal demokrasi.

Jika persyaratan untuk ikut Pemilu 2004 adalah kriteria substantial democracy, antara lain ditetapkan syarat apakah partai politik sudah atau belum membuat kontrak sosial yang rinci antara mereka dan calon pemilihnya, maka Partai Golkar dan juga partai-partai yang lain, bisa-bisa tidak ada satupun yang bisa lulus verifikasi. Kader Partai Politik cenderung menganggap dirinya sudah dekat dengan pemilih, lewat kegiatan-kegiatan seremonial dan keramaian karnaval yang mereka adakan, dan tidak dalam hubungan kontrak sosial yang sesungguhnya.

Ada kecenderungan partai politik masih belum mau berubah dan mempertahankan konservativismenya, merebut, memperluas dan mempertahankan kekuasaan, dengan cara-cara lama –mobilisasi lewat pertunjukan hiburan, cindera mata dan bakti sosial- dan tidak melakukan sesuatu yang kongkret menjawab kebutuhan publik di daerahnya.



[1] Ibid,- Ibu. J.