Senin, 22 Oktober 2007

Partai, Akad Politik dan Pemilu Masa Depan

Oleh: Syafuan Rozi Soebhan

Banyak sekali kepentingan publik yang mestinya diurus orang parpol, tapi karena ketidakmampuan mereka terhadap persoalan yang dititipkan kepada mereka. Banyak hal yang menjadi masalah tersebut tetap belum bisa tertangani. Secara umum, elit parpol, baru sebatas vote-gather saja. Beberapa partai tidak dekat sebenarnya dengan persoalan masyarakat. Belum ada platform rinci dan jelas yang mereka janjikan kepada pemilih dan tidak memiliki mekanisme untuk bisa ditagih pada saat-saat tertentu setelah pemilu. Setelah mereka menang, mereka cenderung tidak berbuat banyak untuk kepentingan publik, selain melakukan kegiatan seriomonial dan bakti sosial.

Mekanisme politik yang membentuk orang partai berlaku seperti itu, karena mereka terpilih ditetapkan oleh partainya, bukan langsung oleh pemilih. Masyarakat tidak punya sanksi terhadap wakilnya, jika si wakil bertindak arogan dan tidak mau melakukan komunikasi politik. Belum ada mekanisme bagi pemilih untuk menuntut si wakil yang pernah menjanjikan sesuatu pada saat kampanye dulu. Pemilih tidak bisa menuntut terhadap apa yang telah dijanjikan, jika tidak terbukti. Kalau ada pemilihan anggota legislatif langsung oleh pemilih, bukan ditunjuk partai, itu akan lebih bagus. Kalau tidak ada kontrak sosial yang rinci antara calon wakil dan pemilih, masyarakat setelah pemilu akan apatis.

Jika kita membuat perbandingan politik, di USA tahun 1994, Partai Republik membuat program “One hundred days”. Pada saat itu, selama seratus hari apa yang dijanjikan oleh politisi Partai Republik harus dibuktikan dan dilaporkan kepada konstituennya. Jika tidak dibuktikan pemilih akan menarik dukungannya terhadap wakil dan partai tersebut.

Partai politik kita, di waktu mendatang perlu membuat laporan kemajuan kepada pemilihnya tentang apa yang telah dilakukan selama seratus hari dan seribu hari misalnya. Itu semacam kontrak sosial. Partai perlu membuat dan memberikan kaset atau booklet tentang apa yang telah dijanjikan Partai Republik terhadap pemilihnya setelah seratus hari.

Mekanisme seperti itu akan menuntut anggota parpol yang menjadi wakil pemilih. Orang Parpol itu akan lebih banyak bekerja dan bersentuhan dengan konstituennya, karena apabila tidak dilakukan, pemilih bisa menarik kepercayaan dan dukungannya saat itu dan pada pemilu berikutnya. Partai Politik masa lalu bisa digambarkan sebagai penggerak ‘demokrasi prosedural’, belum menghela ‘demokrasi substansial’. (catatan: ada yang berkeyakinan bahwa persyaratan suatu negara untuk disebut demokratis, jika memiliki Parpol, padahal ada ahli yang mengatakan syarat demokrasi bukan hanya hadirnya partai, tetapi lebih jauh lagi peran apa yang telah dimainkan secara substansial oleh intitusi politik tersebut.

Pemilu akan merubah siapa yang akan memimpin negara ini. Pemilu akan menghasilkan siapa yang akan mewakili masyarakat untuk membuatkan undang-undang dan membuat anggaran negara yang sesuai dengan kepentingan publik kita. Itu kan antara lain substansi perlunya kehadiran suatu partai politik dalam suatu negara.

“....Faktanya, beberapa partai belum menyiapkan substansi seperti itu, baru berebut posisi politik, fasilitas dan pundi-pundi. Kita harus akui belum semua partai sadar untuk menegakkan substansi demokrasi. Bahkan anggota legislatif, mereka itu wakil siapa. Mereka lebih menjadi wakil partai, karena selama ini ia ditunjuk dan ditempatkan oleh pimpinan partai. Pemilih bukan lagi siapa-siapa. Mereka yang telah ada di parlemen seringkali sangat mengecewakan pemilihnya, tidak mau berkonsultasi. (seperti mendorong mobil, para pendorong mobil ditinggalkan begitu saja ketika mesin mobil sudah menderu dan mobil melaju jauh melupakan para pendorong)...”.[1]

Oleh sebab itu, menurutnya, untuk waktu ke depan, perlu adanya mekanisme agar elit partai dan kader di tingkat bawah harus mau untuk langsung bersentuhan (melakukan komunikasi politik) dan ini lewat kontrak sosial dengan pemilihnya langsung pada masa kampanye. (misalnya apa yang akan dilakukan wakil rakyat jika ia terpilih setelah misalnya 100 hari, 1000 hari, 5.000 hari dan apa konsekuensinya jika tidak terpenuhi). Untuk alasan menegakkan substansi demokrasi, mereka harus berubah.

Ada kecenderungan gejala procedural democracy yaitu persyaratan verifikasi terhadap partai yang boleh ikut Pemilu, baru pada tahap memeriksa ada tidaknya kantor cabang dan ranting dan memeriksa dokumen dan bukti fisik berapa jumlah pengurus yang ada. Partai Golkar, PDIP dan PPP, tidak mengalami masalah sama sekali. Akibatnya banyak partai baru “terpaksa” menyewa staf, memobilisasi nama-nama, perlombaan pemasangan papan nama, memasang atribut, warna dan bendera di mana-mana menjelang verifikasi Parpol yang boleh ikut Pemilu.

Tim KPU dan Kementrian HAM, Hukum dan Perundang-undangan, cenderung tidak atau belum memeriksa persyaratan verifikasi apakah partai politik di daerah, sudah membuat persiapan kontrak sosial rinci berupa –akad politik- berisi perjanjian apa yang akan dilakukan atau tidak akan dilakukan setelah Pemilu, kapan dan bagaimana cara yang akan ditempuh-, siapa yang bisa dihubungi pemilih jika ingin menyampaikan aspirasinya, sehingga substansial demokrasi perwakilan bisa ditegakkan. Mereka baru memenuhi kriteria prosedural formal demokrasi.

Jika persyaratan untuk ikut Pemilu 2004 adalah kriteria substantial democracy, antara lain ditetapkan syarat apakah partai politik sudah atau belum membuat kontrak sosial yang rinci antara mereka dan calon pemilihnya, maka Partai Golkar dan juga partai-partai yang lain, bisa-bisa tidak ada satupun yang bisa lulus verifikasi. Kader Partai Politik cenderung menganggap dirinya sudah dekat dengan pemilih, lewat kegiatan-kegiatan seremonial dan keramaian karnaval yang mereka adakan, dan tidak dalam hubungan kontrak sosial yang sesungguhnya.

Ada kecenderungan partai politik masih belum mau berubah dan mempertahankan konservativismenya, merebut, memperluas dan mempertahankan kekuasaan, dengan cara-cara lama –mobilisasi lewat pertunjukan hiburan, cindera mata dan bakti sosial- dan tidak melakukan sesuatu yang kongkret menjawab kebutuhan publik di daerahnya.



[1] Ibid,- Ibu. J.

Tidak ada komentar: